Senin, 03 September 2012

Cerita belum berjudul


Chapter One  "bertemu lalu berpisah"

Bertemu lalu berpisah... seperti itulah perjumpaan kita... 

Seorang wanita cantik tersenyum sambil memandang langit hitam yang gemerlap dengan bintang. Ia tampak anggun dibalut dengan gaun sifon putih. Rambutnya yang ikal nampak disanggul agak berantakan keatas namun beberapa rambut depannya jatuh membingkai wajahnya yang oval. 

Ia tersenyum dengan mata terus menatap bintang-bintang dilangit. Mata indahnya yang berwarna cokelat terlihat memantulkan kembali sinar sang bintang. Ia kemudian memejamkan matanya. Tampak nyaman menikmati hembusan angin malam. Kelihatannya angin dingin itu tak cukup membuatnya untuk bergeming walau baju yang ia kenakan tak berlengan. 

Kau seperti angin yang datang dan pergi sesuka hati... tak pernah berdiam... tak dapat tergapai


5 tahun yang lalu

"Tunnggguuu! Dimaasss, tunggguuu!" Jerit seorang perempuan yang memakai pakaian paling aneh yang mungkin ada pada tempat itu. "Hey! Dimasss... " jerit perempuan itu sekali lagi. Namun yang empunya nama justru tak menggubrisnya. Ia mulai terlihat kesal saat mendapati bahwa orang yang bernama Dimas itu sudah tak ada di pandangannya. 

Beraninya dia meninggalkan aku sendirian! Dia pikir dia itu siapaaaa?? AKh! Sebal! Sebal! Seharusnya aku tadi tidak datang kesini! serunya dalam hati. 

Ia terus cemberut dan memutuskan untuk duduk di bangku terdekat ketika menyadari pandangan orang lewat pada dirinya. Yah, Ia memang sudah merasa kalau berpakaian seperti ini pasti akan membuatnya menarik perhatian banyak orang, padahal tujuannya kan kebalikannya. Ia memandang pakaian yang sedang ia kenakan sekarang, jins panjang warna hitam dengan atasan putih yang dipadupadankan dengan coat hitam dan syal abu-abu. Belum lagi kaca mata cokelat besar yang ia pakai dan sebuah topi hitam. Siapa juga yang akan memakai pakaian seperti ini bila berjalan-jalan di kebun binatang di siang bolong yang panas ini. Ia tambah cemberut saat duduk di bangku merah dan memandang orang-orang lewat yang sedang tertawa bahagia.

Sebal! Sebal! Enak saja mereka tertawa sementara aku ditinggal sendirian oleh si monyet satu itu!

Merasa frustasi dan sedih, Ia melapas topi dan kaca matanya lalu mulai memejamkan matanya. Tujuannya untuk mencegah agar air matanya tidak jatuh. Menyedihkan sekali kalau dia harus menangis setelah ditinggal seorang pria.

"Anginnya memang sejuk ya, " 

Langsung saja, perempuan tadi mendongak dan menoleh kesamping ketika mendengar suara itu.

"Hiks, Dimaaaassss.... " rengeknya langsung. Campuran antara sebal, gregetan, dan lega. 
Dimas memandang perempuan disampingnya yang terlihat amburadul. Wajah yang memerah, mata yang berair, dan raut muka yang acak-acakan, membuat diirnya tak tahan untuk tidak menertawai perempuan disampingnya itu.

"Kok ketawa? Dimasss... " 

"Hahahaha... hahahaha... El, kamu lucu banget deh! Mukamu itu loh! Hahaha... "

Ugh. Apa? Apa yang tadi Dimas bilang? Mukaku kenapa? Batin Ella ketika melihat Dimas yang tertawa enggak ada habis-habisnya. Ia pun mengeluarkan cermin dari dalam tasnya yang berlabel Prada. 
Ow. No. Serunya ketika melihat wajah acak-acakan dipantulan cermin itu. Dengan cepat ia membenarkan wajahnya. 

"Stop, ketawanya! Stop, Dimas, enggak lucu tau!" perintah Ella sebal sambil memulas bibirnya dengan lip gloss yang dibawanya. 

Dimas pun berhenti menertawakan perempuan disampingnya. Ia tahu kalau dia berlebihan menertawai Ella, tuan putri yang satu ini akan langsung ngambek. Dan Dimas paling males kalau harus berurusan dengan ngambeknya-Ella. 

"Udah, udah cantik lagi, kok, " ujar Dimas kemudian sambil mengacak-acak rambut Ella yang masih sibuk dengan kaca didepannya.

Ella cemberut dan memasukkan cermin ke dalam tasnya. "Aku kan emang selalu cantik, " serunya angkuh. 
"Hmm, kamu emang selalu cantik kalau dilihat dari ujung sedotan, " ujar Dimas santai. 

"Ugh! Dimasss!" rengek Ella lagi sebal. "Bete deh ngomong sama kamu! Lagian dari tadi kamu itu kemana? Aku kan udah memanggil kamu! Kamunya malah jalan cepet-cepet! " ujar Ella lagi. 

"Habis kamu lama banget jalannya! Makanya kalau ke kebun binatang enggak usah pakai high-heels segala, kan susah jalannya! " 

Ella menatap high-heelsnya yang jadi korban fitnah Dimas. "Bukan salah high-heelsku! Salah kamu yang jalan kecepatan. Lagian perempuan itu harus selalu pakai sepatu bagus. Ibaratnya, sepatu bagus akan membawa kaki pemakainya menuju hal-hal yang bagus-bagus."

Dimas menatap  Ella tidak percaya. "Filosofi dari mana itu? Belum pernah denger tuh, " ujar Dimas meremehkan. Sebelum Ella menjawab, ia sudah berbicara lagi. Kali ini topiknya sudah berbeda. Khas Dimas, bila ia sudah bosan dengan suatu topik pembicaraan, atau baginya sudah tak penting udah dibahas, ia akan dengan selfishnya mengganti arah pembicaraan. Entah si lawan bicara tersinggung atau tidak. "Ella, pulang yuk. Udah selesaikan tadi jalan-jalannya. Nanti Eyang akan marahin kamu lagi kalau kamu ketahuan pergi tanpa ijin. "

Cemberut, Ella memakai kaca matanya. "Jangan cepet-cepet jalannya, " ujar Ella sambil berdiri dari duduknya. 

Dimas tersenyum sambil kemudian memasangkan topi ke kepala Ella, "Bodoh, topinya ketinggalan!" ujar Dimas. Dan di jarak yang sempit itu, Dimas meraih kepala Ella dan menciumnya.


 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Pejamkan mata kamu dan aku akan selalu ada didekatmu... seperti angin yang kamu rasakan sewaktu kamu menutup matamu, " seru Dimas lembut sambil membelai lembut pipi Ella. Air mata Ella tak kuasa ia tahan lagi, tes... tes... tes... Semua resah yang dirasakannya tertumpah ruah dihadapan lelaki didepannya.

"Hiks, hiks, hiks, aku takut... aku takut, Mas. Hiks, kenapa semua harus begini... mama udah enggak ada... sekarang papa juga pergi, kenapa, kenapa mereka ninggalin aku sendiri??? Aku takut! Aku takut... apalagi kalau harus hidup dengan wanita itu... " Tangisan Ella bertambah deras dan guncangan ditubuhnya semakin besar, dengan tangan lebarnya, Dimas memeluk Ella, sehingga sekarang Ella menangis didada Dimas. 

"It's okay, it's okay... it's gonna bee okay, El, " ujar Dimas pelan menenangkan. Tangannya terus mengusap-usap punggung Ella. "I'll always be here for you... just like the wind, " ujarnya lagi.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 

Pejamkan matamu... dan aku akan selalu ada didekatmu... pejamkan matamu... dan panggil aku, aku akan berlari kepadamu... seperti angin...

Sudah satu jam lebih Ella menunggu Dimas di bandara. Selembar tiket ditangan kanannya dan sebuah koper ditangan kirinya. Tapi tak jua terlihat ujung hidung cowok satu itu. Apa mungkin aku salah jam? Tidak, tidak mungkin, serunya sambil melihat tiket ditangannya. Tiket yang diberikan oleh Dimas kemarin dengan tujuan London. Atau... aku salah tempat janjian? Ah, enggak juga, bener kok, bener, kemarin Dimas bilang dia akan menunggu aku disini supaya kami berdua bisa pergi ke London bersama. Lalu apa yang membuat Dimas masih belum terlihat juga? 

Berbagai pikiran buruk mulai terlintas dibenaknya. Apalagi ditambah kenyataan bahwa nomor handphonenya tak bisa dihubungi. Enggak, enggak, berpikir positif, berpikir positif, ujar Ella pada dirinya sendiri. It's okay, he said he'll be here... he said we'll be together forever...

Ella terus, terus, dan terus menutup matanya... berulang kali mendendangakan satu nama... Dimas, Dimas, Dimas... berharap si pemilik nama akan muncul dihadapannya... 

Pejamkan matamu... dan aku akan selalu ada didekatmu... pejamkan matamu... dan panggil aku, aku akan berlari kepadamu... seperti angin... Dimas... Dimas... Dimas... I believe you'll come... I trust you...


"N...Ella... Non... Ella...Nona... Nona Ella... " 

Ella merasakan ada suara-suara yang memanggilnya. Siapa? Suara siapa itu? Serunya dalam hati. Ah! Bodohnya aku! Itu paasti suara Dimas. Aku pasti ketiduran saat menunggunya. Ia membuka matanya.

"Nona!"
"Nona Ella!" 
"Non!"

Ella mengerjap. Ada begitu banyak orang. Tapi mana wajah jahil itu? Mana lekuk wajah yang sangat dikenalnya? Mana... dimana Dimas?? Ella langsung berusah untuk duduk tegak, namun tak disangka kegiatannya yang satu itu membuat kepalanya pusing bukan kepalang.

"Aduh, " serunya seraya memegangi kepalanya yang terasa berat. Langsung saja orang-orang disekitarnya langsung panik mendengar hal itu. Ia bahkan bisa mendengar perintah Pak Budi, sekretaris papa yang menyuruh seseorang untuk menelpon seorang dokter.

Ella mengabaikan mereka. Berusaha tak memikirkan mengapa mereka bisa tahu bahwa dirinya berada disini. Apakah mungkin mereka juga tahu rencananya untuk kabur bersama Dimas? 

Ella berusaha kembali melihat kesekelilingnya, ia perlu memastikan bahwa kegundahan hati yang saat ini muncul dibenaknya tidaklah benar. Dimas, Dimas, benaknya terus mendendangkan nama itu sambil mencari diantara kerumunan... tidak, tidak mungkin, dia tidak mungkin bohong... dia satu-satunya... satu-satunya yang bisa aku percayai di dunia yang penuh kebohongan ini... 

Tanpa terasa air mata jatuh dari pelupuk matanya... satu butir diikuti dengan ribuan butir lainnya... 



 to be continued

 




0 komentar:

Posting Komentar